Artikel

Candi Borobudur Sebagai Fenomena Sakral Profan
Oleh : Samanera Dhammalankaro


Dualisme fungsi Candi Borobudur sebagai salah satu dampak modernitas. Candi Borobudur sebagai tempat praktik keagamaan sekaligus pariwisata. Hal ini menjadi fenomena sosial budaya dalam konteks sakral profan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui fenomena Candi Borobudur dalam praktik keagamaan dan pariwisata perspektif strukturalisme Levi Strauss. Metode penelitian menggunakan analisis struktural. Analisis struktural Levi Strauss tidak hanya mengungkap makna yang terkandung dalam simbol, namun juga mengungkapkan logika dibalik makna. Hasil penelitian menyatakan bahwa: lembaga keagamaan dan pariwisata dalam melihat Candi Borobudur dalam perspektif yang berbeda, baik dari segi aktor, langue, parole, mytheme, oposisi biner, order, paradigmati, sintagmatik, dan tranformasi. Dualisme fungsi Candi Borobudur yaitu candi memiliki sistem tanda masing-masing, yakni dalam ruang lingkup spiritual maupaun keduniawian. Candi Borobudur bagi umat Buddha sebagai tempat melaksanakan praktik keagamaan, seperti ritual keagamaan dan dhammayatra. Bagi wisatawan Candi Borobudur sebagai ruang rekreasi yang mengutamakan pemuasan napsu selera, dan bagi industri pariwisata Candi Borobudur sebagai ruang ekonomi.

Tujuan kepenulisan kali ini penulis ingin masyarakat tidak hanya mengenal Borobudur sebagai sarana wisata saja melainkan juga sebagai titik temu sosial budaya, agama, politik, dan pendidikan di Indonesia. Manfaat dari kepenulisan kali ini masyarakat dapat melihat peran penting Borobudur di kehidupan sehari-hari selain meningkatkan mutu kependidikan juga dapat memahami filosofi bangunan sebagai identitas kebhinekkaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A. Oposisi Biner Pada Kemegahan Candi Borobudur

Di balik kemegahan candi Borobudur, penulis menyoroti terkait dua kepentingan yang berbeda antaralembaga agama dan lembaga kepariwisataan. Kepentingan yang berbeda ini menghadirkan struktur dan sistem tanda yang berbeda pula dalam mengnterpretasi Borobudur.

1. Permukaan Luar
Borobudur dilihat dari permukaan luar merupan candi yang terbuat dari batu adesit yang disusun rapi dari bawah ke atas berbentuk seperti kerucut, yang terdiri dari tiga lapisan, lapisan bawah berbentuk persegi, lapisan tengah berbentuk lingkaran dan paling atas ada stupa besar tanpa ada bilik. Jika dilihat dari permukaan luar lembaga agama dan lembaga pariwisata sama-sama menggunakan obek material candi Borobudur, namun jika dilihat permukaan dalamnya maka dua lembaga mempunyai struktur yang berbeda.
 

2. Permukaan Dalam

A. LEMBAGA KEAGAMAAN
Lembaga keagamaan Buddha memaknai Borobudur sebagai tempat suci yang digunakan sebagai kegiatan-kegiatan spiritual seperti puja, pradaksina, Dhammayatra. Borobudur bukti kejayaan Dinasti Syailendra sekitar abad VIII-X, Agama Buddha mencapai puncak kejayaan pada dinasti Syailendra (Kerajaan mataram Kuno). Borobudur sebagai objek sakral (objek Puja) dimana Borobudur melambangkan adanya alam semesta. Umat Buddha melakukan puja dengan objek Borobudur sebagai alam semesta. Aktor yang bermain dalam objek puja candi Borobudur antara lain Sangha dan umat Buddha. Umat Buddha percaya tentang hukum tumimbal lahir (kelahiran kembali setelah kematian).

Ajaran Buddha dalam melihat segala fenomena kehidupan tidak hanya menilai dari permukaan luar saja, namun lebih dianjurkan pada penyelidikan-penyelidikan kebenaran sampai pada kesimpulan dengan konsep ehipassiko (datang, lihat, buktikan). Demikian halnya memandang hukum kelahiran kembali (punarbhava) yang di lukiskan pada objek material candi Borobudur. Pemujaan terhadap candi bukan berarti menyembah berhala, namun candi sebagai obyek meditasi (perenungan) bahwa kehidupan ini tidak kekal (anicca). Selama makhluk masih diselimuti oleh keinginan napsu (tanha) maka siklus kelahiran kembali di 31 alam kehidupan masih terjadi, namun jika makhuk telah melenyapkan tanha maka telah mampu merealisasikan Nibbana.

Borobudur jika dilihat dari struktur dalam dalam perspektif teori strukturalisme Levi Strauss maka Borobudur adalah visualisasi alam semesta yang digunakan sebagai objek meditasi (perenungan) bagi umat Buddha tentang konsep kelahiran kembali. Borobudur sebagai visualisasi hukum punarbhava (kelahiran kembali) dan jalan menuju pembebasan mutlak (Nibbana). Dalam kosmologi agama Buddha, allam semesta ini dibagi menjadi tiga tingkat, yakni kamadhatu (dunia keinginan), rupadhatu (dunia berbentuk) dan arupadhatu (dunia tak terbentuk). Ketiga tingkat ini dibedakan dengan relief-relief tertentu pada candi Borobudur. Pada tingkat kamandhatu dan rupadhatu terdapat relief-relief yang melukiskan cerita-cerita dari naskah Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka-Awadana dan Gandawyuha (Dewanti, 2018: 4).

Bagian “kaki” Candi Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama tanha atau nafsu keinginan yang rendah, seperti dunia manusia. Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi maish terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci. Arupadhatu, yaitu alam tanpa bentuk. bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak ada relief. Tanda-tanda yang dmuncullkan dalam Borobudur hingga membentuk teks membentuk relasi-relasi struktur dalam (deep strukture) yang disederhaakan mejadi oposisi biner (binary opposition). Oposisi biner yang dimunculkan dalam struktur Candi Borobudur antara lain sifat baik dan sifat buruk, ada alam rendah dan alam atas, ada laki-laki dan perempuan. Borobudur dapat dikatakan sebagai kitab suci visual agama Buddha, dimana banyak ajaran yang tersirat dari struktur maupun relief candi.

Struktur berikutnya yang tampak menjadi tanda pada Candi Borobudur adalah: (1) di bagian kaki candi yaitu fondasi bangunan candi terdapat wadah peripih berbentuk mandala, (2) pada tubuh candi terdapat stupa-stupa kecil berongga, (3) pada atap candi merupakan stupa besar tidak berongga.Ketiganya dari bawah ke atas terhubung membentuk jaringan relasi sistem tanda.

Candi Borobudur terangkai dalam sejumlah komponen-komponen tanda dan apabila di suatu bangunan candi salah satu komponen tersebut hilang atau berubah, maka struktur akan mengatur dirinya sendiri (otoregulasi). Dengan demikian transformasi yang terjadi pada sebuah struktur tidak menjalar keluar dari aturan melainkan sekedar melahirkan unsur-unsur yang tetap menjadi milik struktur tersebut dan melestarikan nilai-nilai.

Struktur Borobudur juga terlihat pada relief-relief di dinding candi. Sistem tanda pada relief terbagi menjadi lima episode yakni panel 1-27 menyambut kelahiran terakhir Boddhisatva sebagai makhluk tercerahkan, panel 28-55 menceritakan masa kecil dan remaja Pangeran Siddharta, panel 56-67 menceritakan empat pertemuan dan pelepasan agung, panel 68-95 menceritakan bertekad mencapai pencerahan, tahun-rahun Gotama sebagai pertapa pengembara, dan panel 96-120 Pemutaran roda Dharma pertama oleh Buddha (Suci, 2011. 23-25). Candi Borobudur dibangun tidak mungkin hadir tanpa makna, dan secara kontekstual terhubung dengan struktur bangunan menjadi sebuah sistem tanda sakral yang memungkinkan untuk merekonstruksi pengetahuan, gagasan masyarakat masa itu dalam mewujudkan bangunan sakral candi untuk ritual keagamaan, seperti perayaan Waisak di Borobudur setiap tahun.

B. LEMBAGA PARIWISATA
Lembaga pariwisata memaknai Borobudur sebagai sebuah komoditas. Dimana Borobudur merupakan salah satu kejaiban dunia yang dapat dikelola dan menghasilkan uang. Lembaga Pariwisata memandang Borobudur sebagai objek materialisme yang dapat dijadikan komodifikasi dari sistem tanda religi menjadi sistem tanda keduniawian. Hal ini dapat dilihat dari berbagai acara yang diselenggaran di Borobudur seperti musik, fashion, olahraga, lamba burung dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sakral borobudur telah bergeser ke nilainilai profan sebagai sistem tanda materialisme.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa struktur yang membentuk sistem tanda pada lembaga pariwisata mengenai Borobudur diantaranya keunikan bentuk Borobudur yang dapat dijual kepada publik sebagai simbol Indonesia. Keunikan tersebut dimanfaatkan oleh lembaga Pariwisata sebagai ajang berbagai kegiatan seperti pameran fashion, festifal burung berkicau, lari marathon, dan konser musik sebagai strategi menarik wisatawan. Kegiatan yang dikelola oleh lembaga pariwisata tidak lagi mengedepankan kesakralan Borobudur, namun lebih melihat keindahan bentuk yang dapat dimanfaatkan sebagai komoditas dan menarik wisatawan, baik domestik maupun wisatawan asing. Pengelolaan Borobudur yang dilakukan oleh lembaga pariwisata melihat Borobudur sebagai material yang bersifat profan.

Dalam rangka pengembangan kawasan pariwisata Borobudur, maka Presiden melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Borobudur. Struktur Organisasi Badan Otorita Borobudur terdiri dari Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana. Ketua Dewan pengarah yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, ketua Pelaksana harian adalah Menteri Pariwisata. Anggota terdiri dari Menteri Pariwisata, Menteri Dalam Negeri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Badan Usaha Milik Negara; Menteri Agama; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; Menteri Keuangan; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Menteri Perhubungan; Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; Sekretaris Kabinet; Gubernur Jawa Tengah; dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana dalam Organisasi Badan Otorita Borobudur merupakan aktor yang dalam pengembangan pariwisata candi sebagai distinasi wisata melalui berbagai event untuk menarik pengunjung. Aktor-aktor tersebut mempunyai kekuasaan dalam mendominasi pengelolaan Borobudur. Kekuasaan membangun relasi-relasi sistem yang terstruktur yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing dibidangnya dalam merawat dan mengembangkan wisata Borobudur.

Aktor yang mempunyai relasi dan kekuasaan dalam pengembangan Borobudur membuat gerakan-gerakan keagamaan Buddha dan nonkeagamaan Buddha dalam menarik wisatawan ke candi Borobudur untuk bersaing dalam pariwisata global. Para aktor menjadikan Borobudur sebagai material komoditas pariwisata sekaligus sebagai icon pariwisata Indonesia ditengah persaingan pasar bebas pariwisata.

Borobudur merupakan produk budaya masyarakat Mataram Kuno yang memiliki simbol kosmos, dimana manusia memiliki hubungan dengan alam semesta. Kemegahan candi Borobudur sebagai ekspresi masyarakat dalam menunjukkan eksistensi nilai sakral melalui tanda. Strukturalisme Levi Strauss memandang Borobudur sebagai kumpulan kode-kode hasil konstruksi pikiran masyarakat. Kode yang dipakai Borobudur adalah simbol Gunung Meru. Gunung Meru terletak di tengah sebagai pusat dunia. Borobudur sebagai kode teks, dimana manusia dapat sedekat mungkin dengan pusat dan dapat berkomunikasi dengan dunia transendental.
Sistem relasi tanda yang terdapat dalam candi Borobudur dapat dilihat dari dua perspektif, yakni perspektif agama Buddha dan Pariwisata. Lembaga agama Buddha memandang sistem tanda Borobudur sebagai tempat suci yang digunakan sebagai kegiatan-kegiatan spiritual. Kode teks Borobudur dimaknai dengan konsep kosmologi terbagi menjadi tiga tingkat kehidupan yaitu Kamadhatu, Rupadhatu; dan Arupadhatu. Ketiganya dari bawah ke atas terhubung membentuk relasi sistem tanda. Candi Borobudur terangkai dalam sejumlah komponen tanda dan apabila salah satu komponen hilang atau berubah, maka struktur akan mengatur dirinya sendiri (otoregulasi). Dengan demikian transformasi yang terjadi pada sebuah struktur tidak menjalar keluar dari aturan dan melestarikan nilai-nilai originalitas.

Sedangkan Lembaga pariwisata memaknai Borobudur sebagai sebuah komoditas. Dimana Borobudur merupakan salah satu kejaiban dunia yang dapat dikelola dan menghasilkan uang. Lembaga Pariwisata memandang Borobudur sebagai objek materialisme yang dapat dijadikan komodifikasi dari sistem tanda religi menjadi sistem tanda keduniawian.